culll

culll

e-tiket

tambah uang

Selasa, 23 Februari 2010

layang-layang


Layang-layang mulai menghilang di langit Jakarta. Anak-anak kini sudah jarang bermain layangan aduan lagi. Yang tersisa adalah beraneka layangan dalam festival dan perlombaan serta layangan di museum.

"Sebetulnya ini tergantung event-nya apa. Ada layangan sport, tradisional atau kreasi. Kalau yang festival kan tidak tergantung harus layangan aduan," kata Kepala Bagian Keuangan dan Akuntansi Museum Layang-Layang, Nai R Aslamiah, kepada detikcom di Museum Layang-layang Jl Haji Kamang No 38 Pondok Labu, Jakarta Selatan, Selasa (23/2/2010).


Lanjut Nai, perlombaan layang-layang ini memang tergantung spesialisasinya. Seperti yang sering dilakukan di Rancamaya, Bogor dan Serpong, Tangerang. Nai pun menjelaskan, layangan sport lebih banyak menggunakan dua kendali dengan bentuk bundar. Layangan tradisional disesuaikan dengan daerah atau negaranya, seperti Layangan Kowang di Jakarta atau Petheng di Jawa Barat dan Banten.

"Belum lagi daerah lainnya juga memiliki bentuk dan jenis layangan sendiri. Ini juga sering dilombakan," jelasnya.

Sedangkan untuk Layangan Kreasi, ini bentuknya sangat bebas, sesuai kreativitas dan ide para pembuat dan pemainnya. Kebanyakan layangan jenis ini berbentuk 2 hingga 3 dimensi. "Jadi kalau perlombaan jenis ini sangat bebas, tidak ada spesialisasi tertentu," ungkapnya.

Penggunaan benang untuk mengendalikan layang-layang ini pun sebenarnya
tidak tentu. "Yang jelas tidak seperti layang aduan pakai gelasan. Benang ini tergantung pada layangannya sendiri, kalau ada layangan yang beratnya sampai 100 kilogram, tentu nggak bisa pakai nilon, tapi benang dan tali khusus," ujar Nai lagi.

Nai pun mengungkapkan, dalam perlombaan atau adu layangan saat ini yang dinilai bukan kalah atau menang, tapi lebih pada nilai bagus atau tidak, serta estetikanya. "Bukan yang kalah itu putus atau yang menang itu tetap bertahan. Tapi kriterianya bagus atau tidak, bahannya, bentuk dan kreasinya, itu tergantung," ucapnya.

Indonesia sudah beberapa kali mengikuti perlombaan dan juara layang-layang di dunia internasional sejak tahun 1989. Contohnya di Australia, Brunei, Malaysia, Thailand, Singapura, Cina, India, Amerika Serikat, Kanada, Belanda dan Perancis. Sementara untuk perlombaan domestik digelar di sejumlah kota di Pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Kalimantan.

Museum Layang-layang juga memproduksi berbagai jenis layangan. Di antaranya,
layang-layang datar (2 Dimensi) seperti Delta, Diamond dan Octopus, serta
layang-layang berbadan (3 Dimensi) seperti Kupu-kupu, Capung, Kelelawar dan
Naga. Selain itu ada berbegai jenis layang-layang lainnya, baik ukuran besar atau kecil untuk pesanan perusahaan dan iklan.

Nai pun tidak menampik, saat ini anak-anak sudah jarang memainkan layang-layang di tempat umum. Namun begitu, Museum Layang-layang tetap kedatangan tamu untuk melihat sejumlah koleksi layang-layang.

"Untuk Februari, sudah dibooking 100-300 siswa-siswi sekolah untuk melihat dan membuat layang-layang. Karena anak-anak sekarang sudah tidak tahu lagi layangan, tidak ada lapangan, bagaimana bikinnya. Jadi di sini mereka dapat info yang lebih luas," ungkapnya.

Nai tidak sepakat bila hobi main layangan ini menghilang di Jakarta karena tergerus pembangunan gedung, serta hilangnya lahan kosong. Menurut Nai, bermain layangan tidak melulu membutuhkan lahan lapang dan tidak harus di kota.

"Di sini sempit lahannya, tapi masih bisa bermain layangan kecil dan bisa terbang. Tergantung kita, tergantung kreatifitas untuk membuat dan menerbangkan layangan. Jadi tidak usah di lapangan, kita sesuaikan dengan kondisinya saja," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar